Oleh : Dadan Adi K
Mahasiswa UNS
PENATAAN PKL ( PEDAGANG KAKI LIMA)
DI KOTA SURAKARTA
KURUN WAKTU 2004 - 2011
A. PENILAIAN SECARA UMUM
Pemerintah
Kota Surakarta kurun waktu 2004 sampai dengan 2011 ini telah melakukan
berbagai cara dan upaya dalam melaksanakan program Penataan PKL (
Pedagang Kaki Lima). Untuk mengetahui bagaimana penilaian terkait
pelaksanaan program tersebut tentu kita harus jeli dan melihat dari
berbagai aspek dan sudut pandang. Hanya saja secara umum dan menyeluruh
maka pelaksanaan Penataan PKL di Kota Surakarta ”Sudah berjalan dengan baik”.
Sejak
tahun 2004 tepatnya ketika menjabatnya Walikota Solo yang baru yaitu Ir
Joko Widodo atau sering di panggil Jokowi serta Wakilnya FX. Hadi
Rudiyatmo. Semenjak itu Pemkot Surakarta melakukan ’’Revolusi Besar-besaran’’ yang
diantaranya ialah penataan PKL. Sudah seribu lebih PKL yang ditertibkan
dan direlokasikan kebeberapa tempat guna menjalankan misi sehingga
tercipta seperti jargon Surakarta yaitu Berseri.
Salah
satu aspek keberhasilan Pemkot Surakarta dalam menjalankan program
tersebut bisa kita lihat dalam reaksi atau tanggapan dari masyarakat
bahkan para PKL sendiri. Jika kita melihat di media-media selalu terjadi
perlawanan atau percekcokan yang begitu luar biasanya maka berbeda
dengan di Surakarta. Walaupun ada beberapa dari PKL yang berusaha untuk
melawan akan tetapi kuantitasnya sangat minim dan mayoritas mereka
bersedia ditata dan direlokasi oleh Pemkot. Hal inilah yang menjadi
perbedaan dengan kota-kota yang lain dimana tidak sedikit satuan Pramong
Praja ( Satpol PP ) harus kualahan dalam menangani masalah penataan PKL
yang semakin merajalela. Masyarakat di kota Surakarta cenderung
bersedia karena memang telah disediakan tempat yang tentunya melalui
pertimbangan dari Pemkot sendiri dan hal itu tidak merugikan para PKL.
Faktor
perbandingan disini digunakan sebagai salah satu kriteria keberhasilan
program ini. Penulis membandingkan tingkat kesusahan masing-masing
Pemkot dalam menagani masalah ini, misalkan saja di Kota Metropolitan
seperti di Kota Jakarta dan kawasan sekitarnya, Surabaya atau Bandung
dan beberapa kota lain. Di kota-kota tersebut rawan sekali dengan bentuk
perlawanan dari para PKL ketika Lapak mereka harus diangkut oleh Satpol
PP, bahkan waktu penyelesaiannya relatif lama. Selain itu tindakan
radikal dari para PKL juga selalu mewarnai. Hal tersebut berbeda dengan
yang ada di Kota Surakarta. Memang dari segi kuantitas dari jumlah yang
direlokasi atau di tertibkan lebih sedikit, akan tetapi secara
keseluruhan maka Penataan di Surakarta tetap lebih baik.
Salah
satu aspek sebagai kriteria keberhasilan Pemkot Surakarta ialah respon
dari masyarakat luar. Bahwa ada beberapa Pemkot luar Surakarta yang
berkunjung dan melakukan survei serta penelitian mengenai sistem atau
kebijakan yang digunakan untuk menangani PKL ini. Mereka menganggap
dengan belajar dari sini dan harapannya bisa dilaksanakan juga di
wilayah mereka masing-masing. Misalnya saja
B. KEBIJAKAN ATAU SISTEM YANG DI JALANKAN
Perkembangan
PKL yang makin lama makin meningkat maka menyebabkan timbulnya berbagai
permasalahan, permasalahan yang muncul menimbulkan Pemikiran Warga Kota
Terhadap keberadaan ribuan PKL di kota yang strategis itu. Pemikiran
untuk mengatasi permasalahan PKL di Surakarta muncul pada tahun 2006 dan
menjadikan Pemkot harus bergerak untuk menangani masalah tersebut.
Sebelum
membahas lebih jauh terkait kebijakan-kebijakan yang diambil Pemkot,
maka terlebih akan penulis paparkan mengenai Potensi baik positif maupun
negative dari adanya PKL.
Potensi Positif :
ü Aset Kota untuk diberdayakan
ü Dapat dilakukan banyak orang
ü Menghidupkan daerah yang sepi
ü Mengurangi pengangguran
ü Menumbuhkan jiwa kewirausahaan
ü Menggerakkan dinamika pembangunan /pemberdayaan ekonomi
ü Penyumbang PAD
ü Peluang kesempatan kerja
ü Penyangga katup ekonomi informal
Pemikiran Negatif :
ü Merampas hak warga kota untuk menikmati keindahan lingkungan
ü Menyebabkan kemacetan lalu lintas
ü Terganggunya kebersihan dan keindahan kota
ü Terganggunya kenyamanan pemilik lahan/rumah
ü Terganggunya fasilitas umum kota
ü Salah satu sumber kekumuhan kota
ü Potensi Konflik
Adapun faktor pendukung untuk mengurai persoalan PKL adalah sebagai berikut :
• Karakter kepemimpinan lokal/Wali Kota Surakarta yang Tanggap, Cerdas, Santun, Konsisten.
• Komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam Pemberdayaan PKL
• Adanya solusi yang ditawarkan oleh pihak pemerintah kota Surakarta.
Komitmen bersama dalam mewujudkan
kebijakan pemerintah kota dalam penataan PKL di Kota Surakarta di
sepakati oleh Legislatif, Muspida kota Solo, SKPD terkait, masyarakat
dan instansi vertikal, sehingga komitmen untuk mengatatasi permasalahan
PKL di Kota Surakarta semakin meningkat baik di dalam masyarakat maupun
pemerintah kota Surakarta.
Dengan
adanya dukungan dari berbagai pihak yang ada di kota Surakarta maka
pemerintah Kota Surakarta semakin mempunyai komitmen kuat untuk
melaksanakan peraturan yang ada di kota Surakarta terkait dengan
penataan kota dan PKL.
Surakarta/Solo memiliki peraturan perundang-undangan tentang penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang telah diimplementasikan. Peraturan perundang-undangan tersebut yaitu:
a. Perda No. 8 Tahun 1995 Tentang Pembinaan dan Penataan PKL Kota Surakarta;
b. SK Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda No. 8 Tahun 1995;
c. Perda No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL Kota Surakarta;
d. Perda Kota Surakarta No. 7 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
e. SOT Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta.
Tiga ( 3 ) Macam Pendekatan
Peraturan
tersebut kemudian semakin tegas untuk segera dilaksanakan, maka
pemerintah kota Solo memulai untuk melaksanakan peraturan tersebut.
Adapun penataan PKL di Kota Surakarta dilaksanakan melalui pendekatan Sosial Budaya. Seperti apa pendekatan tersebut?
Pendekatan
penataan PKL melalui pendekatan sosial budaya tersebut mempunyai
makna dalam penataan PKL di kota Solo. Berikut ini adalah pendekatan
sosial budaya yang dilakukan oleh pemerintah kota Solo, yaitu :
1) Nguwongke uwong
Nguwongke uwong mempunyai makna Menempatkan Manusia pada Harkat & Martabat.
2) Kemitraan
Kemitraan
mempunyai makna adanya kebersamaan dalam penataan PKL anatara
masyarakat, pemerintah dan PKL itu sendiri sehingga dapat menjadi
semakin dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait.
3) Hati nurani
Ada rasa saling mengisi antara satu pihak dengan pihak yang lain, atau PKL denganmasyarakat dan pemerintah.
4) Saling menghormati
Adanya Keseimbangan antar PKL, masyarakat dan pemerintah.
Selain menggunakan pendekatan sosial budaya dalam penataan PKL di Solo juga menggunakan pendekatan ekonomi.
Berikut ini adalah tehnik pendekatan ekonomi yang digunakan pemerintah
kota Solo dalam melakukan penataan PKL di kota Solo yaitu dengan cara:
1. Bantuan sarana dan prasarana
Relokasi, Shelter, Gerobak , Tenda
2. Bantuan dari pemerintah berupa
Modal Usaha, Pemindahan, Pengangkutan
3. Perijinan
SIUP, KTPP, SHP semua diberikan gratis dari pemerintah kepada PKL.
4. Promosi
Media Elektronik, Media Cetak dan dan Hiburan
Selain itu ada tambahan dari pemerintah guna mendukung terwujudnya PKL yang tertib dan teratur. Tambahan pendukungnya yaitu:
Ø Pemberian ijin gratis (SIUP & TDP)
Ø SHP & KTPP gratis
Ø Pelatihan manajemen pedagang
Ø Dukungan media promosi
Ø Dana penjaminan kredit 9 Milyar
Selanjutnya
selain dengan kedua pendekatan yang ada ternya pemerintah kota Solo
juga menggunakan satu pendekatan lagi untuk menata PKL. Pendekatan tersebut adalah Pendekatan Normatif. Pendekatan normatif ini adalah pendekatan yang menggunakan aturan dan sanksi kepada PKL yang melanggar aturan yang berlaku.
Pendekatan Normatif ini di bagi menjadi 2 yaitu :
1. Pendekatan non yustisi, meliputi :
Pembinaan, Pemantauan, Pengawasan
2. Pendekatan yustisi meliputi :
Penindakan, Peradilan
Selain
hal diatas kemajuan yang ada di kota Surakarta merupakan salah satu
fungsi sudah adanya partisipasi masyarakat terkait dengan penataan PKL
di kota Surakarta. Wadah dari masyarakat diberi nama PKL Center dan
forum PKL. PKL center dan forum PKL ini nantinya bisa mewadahi dan
menampung keluhan dan permasalahan PKL di kota ini agar untuk ke
depannya tak lagi ada para PKL yang merasa tidak dilibatkan atau
dipikirkan oleh Pemkot. Setidaknya forum tersebut bisa diadakan rutin,
misalnya sebulan sekali untuk membahas permasalahan-permasalahan
kaitannya dengan penataan PKL. Bahkan Solo ditunjuk sebagai pusat
pelatihan penataan PKL se-Asia Pasifik terkait keberhasilan Pemkot dalam
menata PKL di sejumlah titik di Surakarta. Walaupun diakuinya, hingga
kini masih terdapat sejumlah persoalan terkait penataan PKL tersebut.
Terutama kondisi pasar-pasar yang menjadi tempat relokasi PKL dari
sejumlah kawasan.
Walaupun
pemerintah kota Surakarta sudah melakukan tiga pendekatan tetapi PKL
masih susah untuk melaksanakan ide pemerintah dalam mengatasi PKL di
Surakarta itu sendiri. Dalam tuntutannya PKL masih mempunyai beberapa
permintaan kepada pemerintah, antara lain :
1. Transportasi
harus ada dan kelancarannya pun harus dipertimbangkan, baik itu angkot,
angkutan pedesaan maupun angkutan yang dapat mendukung adanya
penertiban PKL di tempat PKL yang baru.
2. Bakar
tempat yang ditinggal, PKL menuntut adanya pembersihan tempat yang
telah ditinggalkan sehingga tempat yang lama bisa menjadi lebih nyaman.
Penataan
PKL di kota Surakarta dengan menggunakan 3 pendekatan tersebut ternyata
membawa hasil yang cukup berhasil bahkan berhasil jika dibandingkan
kota-kota lain. PKL di kota Surakarta dapat menjadi semakin tertib dan
terkondisikan.
Komunikasi Politik
Dalam
teori “Empati dan Homifili” dikatakan bahwa sebuah komunikasi politik
akan sukses bila seorang komunikator dapat memproyeksikan diri dengan
baik ke dalam sudut pandang khalayak atau masyarakat. Hal ini erat
kaitannya dengan citra diri komunikator politik untuk menyesuaikan
suasana pikirannya dengan alam pikiran khalayak. Komunikator melaksakan
komunikasinya dengan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang
lain dan dilaksanakan atas dasar kesamaan.
Joko Widodo selakuk pemimpin Kota Surakarta bisa
jadi belum pernah mengetahui teori empati dan homofili. Namun apa yang
dilakukannya tampak selaras dengan teori ini. Hipotesa ini didasarkan
pada beberapa hal berikut :
Pertama,
Joko Widodo memahami betul bagaimana perasaan para PKL ketika
mengetahui akan direlokasi. Para PKL itu merasa akan kehilangan
pelanggan atau bahkan mata pencariannya. Karena itu Joko memberikan
alternatif berupa tempat berdagang yang lebih baik daripada di
jalan-jalan atau taman kota. Agar para pelanggan tetap bisa bertransaksi
dengan para PKL, Joko juga melakukan promosi melalui media lokal,
memperluas jalan dan membuat satu trayek angkutan kota baru.
Kedua,
Joko Widodo menunjukan empatinya ketika dia menjamu para PKL sebanyak
54 kali pertemuan. Dia tidak melakukan penggusuran secara paksa dan
dengan kekerasan. Dia memilih lobby dan diplomasi. Joko sadar betul
bahwa ketika tahu akan direlokasi, para PKL akan bersikap defensif. Jika
dipaksa akan terjadi gejolak yang mungkin memunculkan jatuhnya korban
jiwa dan kerugian dari kedua belah pihak. Karena itu “lobby meja makan”
merupakan sebuah tindakan komunikasi politik yang simpatik dan berusaha
memahami posisi para PKL.
Ketiga,
Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan, alih-alih
melakukan pengusiran dengan kekerasan, dengan menghadirkan budaya khas
Solo, seperti penggunaan musik tradisional “kleningan” dan pakaian adat.
Arak-arakan yang dilakukan ini menunjukkan bahwa Joko ingin menunjukkan
“kesamaan” dengan para PKL, yakni kesamaan bahwa mereka sama-sama ingin
membangun Kota Solo menjadi lebih baik, dan kesamaan bahwa mereka
berasal dan memiliki budaya yang sama, yakni budaya orang Solo; pakaian
adat yang sama, musik yang sama, tarian yang sama.
Keempat,
Tindakan Joko Widodo sekaligus menunjukkan keberpihakannya terhadap
ekonomi kecil dan pasar tradisional. Bukan hanya dalam soal PKL, di
bawah kepemimpinannya Joko dengan sukses membangun ekonomi kerakyatan.
Kesamaan persepsi antara pemerintah dan para pedagang pada ekonomi
kecil, memunculkan kesamaan persepsi pula bahwa masyarakat menganggap
Walikota mereka berpihak pada masyarakat.
C. DAMPAK PENATAAN PKL
Jika
sebelumnya sudah dibahas mengenai gambaran secara umum saja terkait
keberhasilan penataan PKL itu seperti apa, kemudian kebijakan-kebijakan
apa yang digunakan maka penulis akan memaparkan bagaimana dampak dari
penataan PKL ini.
Penataan
PKL secara terstruktur dan sistematis serta berorientasi tidak hanya
jangka pendek tetapi juga jangka panjang maka akan membawa dampak
positif yang cukup besar. Dilihat dari segi program Pemkot sendiri maka
jelas telah berhasil dilaksanakan. Hal ini hanya berkaitan dengan status
berhasil atau tidaknya. Karena dengan begitu berpengaruh terhadap
respon masyarakat luar sepertihalnya tadi yaitu kunjungan dari beberapa
Pemkot Luar Daerah bahkan Pemkot dari Luar negeri seperti Kamboja dan
Thailand. Selain itu juga memberi kesan positif terhadap pemerintahan
Pemkot Surakarta sendiri selaku pengayom dan pengatur Kota.
Di
lihat dari segi keindahan lingkungan juga menguntungkan. Lingkungan
semakin indah, rapi dan membuat nyaman masyarakat khususnya masyarakat
Kota Surakarta. Pemilahan tempat yang tepat seperti relokasi PKL dari
Banjarsari ke Semanggi, sekarang menjadi Taman Banjarsari yang rindang
dan dimanfaatkan sebagai rekreasi dan bersantai sementara di kawasan
semanggi sebagai tempat pusat kebutuhan masyarakat. Hal ini juga
berpengaruh terhadap penilaian Pemerintah Pusat terhadap kota-kota di
Indonesia. Contohnya saja akhir Desember 2011 Kota Surakarta dinobatkan
sebagai Kota Terbersih Udaranya oleh negara. Selain itu jika lingkungan
bersih maka akan membuat citra yang baik bagi masyarakat Surakarta
sendiri selaku Kota Berbudaya.
Dilihat
dari segi ekonomi, maka jelas dengan pengelolaan yang baik serta
penempatan yang tepat menjadikan keuntungan segi finansial terutama bagi
para PKL sendiri dan umumnya masyarakat umum yang menggunakan jasa
mereka. Para PKL tidak mungkin mau atau bertahan jika kebutuhan
substansial mereka tidak bisa terpenuhi untuk itulah penataan yang baik
akan memberikan manfaat bagi mereka dan khalayak. Karena memang pada
prinsipnya bahwa PKL merupakan aset yang berharga jika dikelola dengan
baik dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya.
Salah
satu dampak keberhasilan penataan PKL jelas berpengaruh terhadap sang
pengatur yaitu Walikota Surakarta. Terbukti dengan perolehan suara pada
pemilukada 2010 dimana Surakarta benar-benar membutuhkan figur Jokowi
untuk membawa lebih maju lagi Kota Surakarta. Masyarakat masih
memberikan kepercayaan, karena sikapnya yang cenderung pro ekonomi kecil
menengah sehingga mendapat banyak dukungan. Dengan begitu dampak dari
penataan PKL yang baik berimbas juga di bidang politik. Tidak hanya itu
berbagai apresiasi baik individu maupun secara kelembagan yaitu
Pemerintah Surakarta berdatangan, seperti berbagai media masa,pemerintah
pusat dan lain-lain.
BAB III
KESIMPILAN
Penataan
PKL ( Pedagang Kaki Lima ) di Kota Surakarta mulai terlihat sejak tahun
2004, semenjak terjadi pergantian pemimpin atau Walikota Surakarta
yaitu semenjak mulainya era Joko Widodo ( Jokowi ). Suatu gebrakan
dimulai dalam bentuk revolusi yang membawa pada suatu perubahan besar
bagi Kota Surakarta. Walaupun persisnya bukan dimulai pada tahun
tersebut tetapi pada tahun 2006-an tetapi benih-benih perubahan atau
indikasi menuju perubahan sudah mulai terlihat dari tahun 2004.
Salah
satu gebrakan Pemerintah Kota ( Pemkot) Surakarta yaitu Penataan PKL
baik dalam bentuk relokasi, penertiban maupun pembenahan terjadi
dibeberapa titik di Surakarta. Salah satu tanda sebagai program penataan
PKL ini yaitu penataan ribuan PKL dari Banjarsari yang dialihkan ke
Klitikan Semanggi. Hal tersebut merupakan salah satu monumental sebagai
awal gebrakan era baru. Selanjutnya dari tahun ke tahun Pemkot Surakarta
selalu melakukan penataan PKL yang selalu bertambah dan belum tertata
dengan baik.
Dalam
pelaksanaan Program Penataan PKL ini butuh suatu cara atau
kebijakan-kebijan tertentu yang di terapkan Pemkot Surakarta antara lain
dalam bentuk pendekatan-pendekatan, pemberian fasilitas sarana dan
prasarana, serta jaminan Pemerintah Kota terhadap keberlangsungan nasib
para PKL tersebut. Terdapat Tiga ( 3 ) macam pendekatan yaitu Pendekatan
Sosial Budaya, Pendekatan Ekonomi, dan Pendekatan Normatif. Selain itu
dukungan dari masyarakat Surakarta sendiri juga ikut andil terhadap
keberhasilan program ini. Sikap para PKL sendiripun juga berpengaruh,
karena secara umum para PKL bersedia dipindahkan atau direlokasi.
Penataan
PKL di Kota Surakarta merupakan penataan yang berhasil dibandingkan
dengan kota-kota lain di Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari
indikasi bentu perlawanan para PKL sendiri terhadap Pemkot. Di Surakarta
minim sekali adanya perlawanan dari PKL, walaupun itu pasti ada tetapi
kuantitasnya hanya sebagian kecil dari kuantitas seluruhnya. Hal
tersebutlah yang menjadikan perbedaan dari kota-kota lain. Salah satu
bukti bahwa Penataan PKL di Surakarta berhasil dilakukan ialah bahwa
adanya kunjungan dari Pemkot-pemkot luar seperti Surabaya, Jakarta dan
beberapa kota lain yang mana mereka belajar dari Pemkot Surakarta. Tidak
hanya dari dalam negeri, terbukti adanya kunjungan dari Pemkot
luarnegeri yaitu Kamboja dan Thailand. Hal inilah yang menjadi tanda
bahwa penataan di Surakarta sudah berhasil secara umum.
Dampak
dari penataan PKL yang terus dilakukan hingga akhir tahun 2011 dan
mungkin berlanjut sampai sekarang memberikan dampak yang besar baik
untuk para PKL, Pemkot maupun masyarakat umum. Aspek sosial, ekonomi,
budaya pun ikut terpengaruh dampaknya khususnya di wilayah Kota
Surakarta sendiri. Budaya brsih, rapi seperti jargon Surakarta yaitu
Berseri sekarang telah terwujud.
Semoga
Penataan PKL selalu dilakukan oleh Pemkot Surakarta bersama-sama dengan
masyarakat yang didasari dengan tanggap dan kesadaran masing-masing
sehingga menuju perubahan yang lebih baik lagi sehingga menjadi
percontohan bagi nasional maupun internasional.