Senin, 03 Desember 2012

TRADISI NYADRAN

TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN, 

KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI

Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bisa kita jumpai di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Kegiatan masyarakat Grogolan tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal

Apakah Tujuan Tradisi Nyadran Di Desa Grogolan??

Mbah Wiriyo,(72 tahun) salah satu warga dan merupakan pemuka penting didesa Grogolan ini, berhasil kami temui dan kami mintai keterangan seputar tradisi nyadran yang ada di desa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita. ’’ Kami hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan nenek moyang dari dulu mas, jadi kalo ditanya soal sejak kapan tradisi ini berlangsung saya sendiri pribadi kurang tahu, mungkin sudah sejak jaman Para Wali mungkin mas.’’ Papar mbah Wiriyo.

Jadi pada intinya masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Beliau juga menjelaskan bahwa, kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing

Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Selain di daerah Jawa Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon, nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas . Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi). Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang dianggap sakral/suci.

Untuk masyarakat di desa Grogolan kebanyakan banyak yang melakukan tradisi padusan ke daerah sakral yang ramai pengunjung  seperti Kedung Boyo, Tlatar, Pengging dan Lain-lain.

Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran di desa ini seringkali mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Memang  secara kuantitas, tidak semua warga di desa Grogolan turut ikut melakukan tradisi ini. Ada sebagian yang tidak ikut nyadranan, karena mereka mempunyai prinsip yang jelas dan mendasar. Mereka yang menolak tradisi nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah makam leluhur. Salim (60 tahun) salah satu warga Desa Grogolan juga,dia adalah salah satu orang dari warga tersebut yang tidak setuju dengan tradisi yandran ini. ’’Sebenarnya tradisi ini adalah tradisi yang semestinya harus ditinggalkan, kenapa mas bisa saya katakan seperti itu? Kerena tradisi ini melanggar aturan agama islam. Tradisi ini tidak diajarkan dalam islam dan merupakan perbuatan Syirik dan syirik itu perbuatan dosa besar jadi saya tidak setuju dengan keberlangsungan tradisi ini mas..! ’’ Tutur pak Salim dengan suara agak lantang. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara (sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini kembali “dimodifikasi”. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.

Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka “bawaan” ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur.

Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita. Namun tetap saja pandangan seseorang itu berbeda-beda. Ada yang menganggap itu baik disatu sisi juga ada yang menanggap itu tidak baik. Dan hal itu wajar terjadi adanya karena seperti kita ketahui bersama bahwa kita hidup dalam kebersamaan dan masyarakat multi cultural.

Nah dengan berbagai sumber informasi tadi dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.

Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?

Desa Grogolan dihuni oleh banyak komunitas penduduk yang mana berbeda agama dan mempunyai kepercayaan masing-masing. Setelah kami mencari keterangan yang cukup terpercaya yaitu mengambil simple dari beberapa orang penduduk di daerah itu bahwa mereka tahu akan hal itu (ketidakharmonisan persepsi) dan mereka berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal itu.

            Jadi pada intinya, mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati.


 

B.      TRADISI NYADRAN DALAM KONTEKS UMUM MASYARAKAT JAWA

Nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
v  Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan.
v  Nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita.
v  Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
v  Kegiatan Tradisi Nyadran di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga.
v  Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman.
v  Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga.
v  Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem.
v  Tujuan masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan.
v  Nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat.
v  Tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.


v  Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?

Mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar