TRADISI NYADRAN DI DESA GROGOLAN,
KEC. NOGOSARI, KAB. BOYOLALI
Menjelang bulan Ramadhan lalu, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan upacara nyadran. Apa itu nyadran? Nyadran adalah kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur menjelang bulan Ramadhan. Hal ini bisa kita jumpai di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Kegiatan masyarakat Grogolan tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga. Dan inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal
Apakah Tujuan Tradisi Nyadran Di Desa Grogolan??
Mbah Wiriyo,(72 tahun) salah satu warga dan merupakan pemuka penting didesa Grogolan ini, berhasil kami temui dan kami mintai keterangan seputar tradisi nyadran yang ada di desa tersebut. Beliau menjelaskan bahwa nyadran dilakukan setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita. ’’ Kami hanya meneruskan tradisi yang telah ditinggalkan nenek moyang dari dulu mas, jadi kalo ditanya soal sejak kapan tradisi ini berlangsung saya sendiri pribadi kurang tahu, mungkin sudah sejak jaman Para Wali mungkin mas.’’ Papar mbah Wiriyo.
Jadi pada intinya masyarakat grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka menyangkut keselarasan dalam kehidupan. Beliau juga menjelaskan bahwa, kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing
Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem. Selain di daerah Jawa Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon, nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas . Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan. Setelah melaksanakan nyadran, masyarakat lazimnya melakukan tradisi padusan. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yaitu adus (mandi). Padusan merupakan kegiatan mandi (bersih diri), yang mempunyai makna persiapan lahir dan batin menuju bulan Ramadhan. Biasanya padusan dilakukan di sumber-sumber air yang dianggap sakral/suci.
Untuk masyarakat di desa Grogolan kebanyakan banyak yang melakukan tradisi padusan ke daerah sakral yang ramai pengunjung seperti Kedung Boyo, Tlatar, Pengging dan Lain-lain.
Karena ritualnya yang menyertakan sesaji, tradisi nyadran di desa ini seringkali mengundang perdebatan di kalangan umat Islam. Memang secara kuantitas, tidak semua warga di desa Grogolan turut ikut melakukan tradisi ini. Ada sebagian yang tidak ikut nyadranan, karena mereka mempunyai prinsip yang jelas dan mendasar. Mereka yang menolak tradisi nyadran berpendapat kalau tradisi ini syirik dan tidak perlu dilaksanakan. Sedangkan yang menghendaki nyadran berpendapat kalau tradisi nyadran sah-sah saja, asal tidak menyembah makam leluhur. Salim (60 tahun) salah satu warga Desa Grogolan juga,dia adalah salah satu orang dari warga tersebut yang tidak setuju dengan tradisi yandran ini. ’’Sebenarnya tradisi ini adalah tradisi yang semestinya harus ditinggalkan, kenapa mas bisa saya katakan seperti itu? Kerena tradisi ini melanggar aturan agama islam. Tradisi ini tidak diajarkan dalam islam dan merupakan perbuatan Syirik dan syirik itu perbuatan dosa besar jadi saya tidak setuju dengan keberlangsungan tradisi ini mas..! ’’ Tutur pak Salim dengan suara agak lantang. Memang tradisi ini kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha. Tradisi semacam nyadran telah dikenal nenek moyang kita sejak dahulu. Setelah Islam masuk ke Nusantara (sekitar abad ke-13), tradisi semacam nyadran yang telah dikenal masyarakat ini, perlahan-lahan mulai terakulturasi dengan ajaran Islam. Saat Wali Songo menyiarkan Islam di Jawa, tradisi ini kembali “dimodifikasi”. Akhirnya terjadi perpaduan ritual, antara kepercayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam, yang lalu menghasilkan tradisi nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam.
Aneka makanan, kemenyan, dan bunga memiliki arti simbolis. Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul, Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan, pisang raja melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia, jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan, ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan, kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa, dan bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus. Beraneka “bawaan” ini merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam nyadran. Di dalam nyadran juga terdapat inti budaya Jawa, yaitu harmoni atau keselarasan. Masyarakat Jawa bukan saja mengharapkan harmoni dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta, bahkan dengan roh-roh gaib. Maka dalam upacara nyadran, sesaji diberikan. Sesaji bukan bertujuan untuk “menyembah” roh-roh gaib, melainkan menciptakan keselarasan dengan seluruh alam. Nyadran juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rejeki yang diterima dan menghormati leluhur.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita. Namun tetap saja pandangan seseorang itu berbeda-beda. Ada yang menganggap itu baik disatu sisi juga ada yang menanggap itu tidak baik. Dan hal itu wajar terjadi adanya karena seperti kita ketahui bersama bahwa kita hidup dalam kebersamaan dan masyarakat multi cultural.
Nah dengan berbagai sumber informasi tadi dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan ini tidaklah disetujui oleh semua kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum kebanyakan banyak yang ikut.
Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?
Desa Grogolan dihuni oleh banyak komunitas penduduk yang mana berbeda agama dan mempunyai kepercayaan masing-masing. Setelah kami mencari keterangan yang cukup terpercaya yaitu mengambil simple dari beberapa orang penduduk di daerah itu bahwa mereka tahu akan hal itu (ketidakharmonisan persepsi) dan mereka berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berusaha toleran antar penduduk, mengerjakan apa yang menjadi kepercayaan mereka masing-masing. Walaupun pada kenyataannya masih ada saja yang berusaha menyoalkan masalah ini tapi pada umumnya hanya beberapa saj yang melakukan hal itu.
Jadi pada intinya, mereka tidak memaksakan kehendak orang lain untuk melakukan kegiatan tradisi nyadran. Mereka tahu bahwa ini berhubungan dengan keyakinan seseorang dan patut untuk dihargai dan dihormati.
B. TRADISI NYADRAN DALAM KONTEKS UMUM MASYARAKAT
JAWA
Nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam
rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya
dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban
atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua
ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya
hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya
oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi
nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang
Mahakuasa atas segalanya. Nyadran
merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai
Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami.
Budaya masyarakat
yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat
menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau
pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang
diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Prosesi ritual
nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga
jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun
pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai
munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga
menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian
dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan
kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan
pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di
sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam
leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh
dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak
kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga
biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama
dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud
untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia
menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu,
Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa
yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka
kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan
tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak
tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa,
semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada
yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum
beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum
diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si
miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke
rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara
tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada
nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan,
ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut
merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Di sini ada hubungan
kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di
samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari
yang tua kepada yang muda.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
v Nyadran adalah
kegiatan keagamaan tahunan yang diwujudkan dengan ziarah ke makam leluhur
menjelang bulan Ramadhan.
v Nyadran dilakukan
setiap bulan Sya’ban atau dalam kalender Jawa disebut bulan Ruwah. Sulit
ditelusuri sejak kapan tradisi ini berlangsung di masyarakat kita.
v Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan
budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas
yang masih kental islami.
v Kegiatan Tradisi Nyadran di Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, di antaranya membersihkan makam
leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga.
v Para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan
pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman.
v Makanan-makanan ini dibawa dengan
menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka
juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar,
melati, dan kenanga.
v Di Kampung Grogolan, Desa Grogolan, Kecamatan Nogosari, Kabupen Boyolali
ini, menyelenggarakan ritual nyadran di Pemakaman Mbah Sanggem.
v Tujuan masyarakat
grogolan melakukan tradisi ini kerena tradisi ini adalah warisan nenek moyang
yang harus dilestarikan dan mereka percaya bahwa tradisi bermanfaat bagi mereka
menyangkut keselarasan dalam kehidupan.
v Nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus
bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan
pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota
masyarakat.
v Tradisi nyadran khususnya di Desa Grogolan
ini tidaklah disetujui oleh semua
kalangan masyarakat daerah tersebut, secara lain bahwa tidak semuanya
anggota masyarakat yang ikut melakukan kegiatan ini walaupun secara umum
kebanyakan banyak yang ikut.
v Bagaimana sikap masyarakat menanggapi ketidakharmonisan persepsi ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar